🌝 Persatuan Dan Kesatuan Akan Kokoh Apabila
A Pengertian Persatuan dan Kesatuan Bangsa. - Persatuan / Kesatuan: Persatuan/kesatuan berasal dari kata satu yang berarti utuh atau tidak terpecah-belah. Persatuan/kesatuan mengandung arti “bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan yang utuh dan serasi.”.
Mengokohkandan memperkuat persatuan dan kesatuan suatu umat, harus dibarengi dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah dalam menegakkan kebenaran, mengusahakan kebaikan dan kemanfaatan. Juga harus dilanjutkan dengan selalu memerintahkan kebaikan (Amar Ma’ruf) adalah merupakan pupuk yang
5Manfaat Persatuan dan Kesatuan Bagi Negara. Tetapi ketika kita berdiri bersama maka tidak ada siapa-siapa bisa mengganggu suatu bangsa. Selain informasi singkat di atas, ternyata masih ada banyak manfaat persatuan dan kesatuan. Bila tidak ada persatuan, maka akan sangat mustahil bagi sebuah negara dalam mengayomi warga negaranya.
Apabilanasionalisme Pancasila jadi panduan hidup bernegara identitas bangsa serta membangun persatuan dan kesatuan yang kokoh dari seluruh komponen metode perhitungan, dan akan mengundang perdebatan akademik.
Keberagamanberupa etnis, ras, dan agama di Indonesia terangkum melalui sejarah yang melatarbelakanginya. Hal tersebut memengaruhi persatuan dan kesatuan dalam masyarakat. Untuk tetap menjaga stabilitas kerukunan dan perekat kemajemukan, maka nilai dalam semboyan Bineka Tunggal Ika menjadi salah satu alat yang bisa mempersatukan bangsa.
Selainmemperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa a PPKn, 13.06.2020 19:12, anita3987. Selain memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa arti penting kerjasama dalam berbagai kehidupan di negara indonesia bagi diri sendiri masyarakat bangsa dan negara diantaranya adalah. supaya keinginan yang dituju akan semakin munah dicapai
FaktorPenghambat Persatuan dan Kesatuan Bangasa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang Heterogen [Beraneka ragam].Keberagaman masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku, agama, bangsa, dan lain-lain serta kekayaan yang harus dijaga, dapat juga menjadi suatu hambatan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Berkaitandengan Wawasan Nusantara yang sarat dengan nilai – nilai budaya bangsa dan dibentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa , apakah wawasan bangsa Indonesia tentang persatuan kesatuan itu akan hanyut tanpa bekas atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan
54bangsa yang mampu membangun integrasi nasionalnya akan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya. Tugas berat selanjutnya adalah mengintegrasikan segenap unsur di dalam agar negara-bangsa yang baru ini kokoh, bersatu dan dapat melanjutkan kehidupannya sebagai satu kesatuan kebangsaan yang baru
sml1S. JawabanAdanya rasa tenggang rasa, toleransi, saling menghargai, saling menghargai, tidak membeda-bedakanmaaf apabila salah
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal Maret lalu, telah membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali aspek sosial budaya. Dampak terhadap aspek sosial budaya, salah satunya adalah gegar budaya yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan kecil dan pedesaan. Masyarakat Indonesia yang terbiasa hidup komunal dan guyub dengan mengedepankan prinsip gotong royong dalam menyelesaikan segala permasalahan, mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada seperti mematuhi kebijakan penjarakkan sosial demi memitigasi dampak pandemi. Kelambanan dan ketidaksiapan dalam melakukan adaptasi terhadap kebiasaan baru tersebut, berdampak pada terjadinya gegar budaya di masyarakat. Gegar budaya sendiri mengakibatkan munculnya ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Muncul rasa saling tidak percaya antarmasyarakat karena masih adanya sekelompok masyarakat yang tidak peduli pada protokol kesehatan dan kebijakan pemerintah yang ditetapkan dalam penanganan pandemi lainnya. Muncul antipati masyarakat terhadap aparat pemerintah yng ditunjuk untuk melakukan langkah mitigasi penyebaran Covid-19 seperti kepolisian dan tenaga medis. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan. Situasi pandemi yang notabene membutuhkan kerja sama yang solid dan rasa senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa justru terancam perpecahan. Belum lagi apabila mempertimbangkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan AGHT lainnya terhadap persatuan dan kesatuan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 Memperkokoh Nilai Persatuan dan Kesatuan Dalam Rangka Mengatasi Gegar Budaya Akibat Pandemi Covid-19 Oleh Boy Anugerah, Pendahuluan Saat ini bangsa Indonesia sedang berada dalam situasi yang sulit, sehubungan dengan pandemi Covid-19 yang masih melanda hingga hari ini. Covid-19 tidak hanya berdampak negatif terhadap sektor kesehatan saja, yakni pihak-pihak yang terpapar Covid-19, tapi juga berdampak pada multi-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti pendidikan, pariwisata, industri, perdagangan, hingga sosial dan budaya. Data per 3 Oktober 2020 menunjukkan bahwa total kasus positif Covid-19 menyentuh angka kasus, perinciannya; pasien meninggal dunia dan dinyatakan sembuh. Dari 34 provinsi di Indonesia, Provinsi Jawa Tengah berada di urutan ke-4 dengan jumlah angka kasus positif tertinggi, yakni kasus, berada di belakang DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa bidang ekonomi termasuk di dalamnya sektor pariwisata, industri, dan perdagangan, Indonesia dipastikan memasuki jurang resesi setelah pada kuartal kedua membukukan pertumbuhan negatif sebesar -5,32 persen dan diprediksi akan terus berlanjut hingga kuartal ketiga 2020.“Data Covid-19 di Indonesia 3 Oktober 2020”, diakses di pada 3 Oktober 2020 pukul WIB. “Awas! Ini Risikonya Setelah Ekonomi Masuk Jurang Resesi”, diakses di berbagai dampak negatif pandemi yang bersifat lintas sektor tersebut, pemerintah mengambil berbagai kebijakan yang dipandang perlu sebagai strategi mitigasi dan penanganan. Pemerintah pusat misalnya, menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB yang diikuti dengan himbauan untuk melakukan penjarakkan sosial physical distancing. Masyarakat juga dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan seperti tidak membentuk kerumunan pada saat berinteraksi, menggunakan masker, menjaga jarak dalam aktivitas sehari-hari, serta himbauan untuk selalu mencuci tangan. Kebijakan ini diikuti oleh pemerintah daerah dari berbagai provinsi, tidak terkecuali Pemerintah Provinsi Pemprov Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Pemkot Surakarta. Meskipun tidak menerapkan kebijakan PSBB, Pemkot Surakarta misalnya, menerapkan kebijakan isolasi skala mikro kecil dengan menyasar keluarga atau lingkungan yang terpapar Covid-19. Kebijakan PSBB tidak diterapkan karena berpotensi mengganggu perekonomian bidang masuk-jurang-resesi, pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Revisi ke-5”, diakses di pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. ”Kasus Covid-19 Terus Naik, Pemkot Solo Pastikan Tak Ambil Kebijakan PSBB”, diakses di 2 ekonomi, pemerintah pusat mengalokasikan dana penanganan pandemi sebesar 695,2 triliun rupiah yang dibagi ke dalam enam sektor besar, yakni; kesehatan, perlindungan sosial, insentif usaha, UMKM, pembiayaan korporasi, serta dukungan bagi kementerian dan lembaga dan pemerintah daerah Pemprov/Pemkot/Pemkab.Berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dan daerah tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menaruh perhatian yang tinggi terhadap masyarakat. Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi keselamatan dan terpenuhinya hajat hidup masyarakat tanpa kecuali. Namun demikian, apa yang ditempuh oleh pemerintah tersebut belum bisa dikatakan sepenuhnya optimal. Masih ada “ruang kosong” kebutuhan masyarakat yang belum sepenuhnya menjadi atensi pemerintah. “Ruang kosong” yang dimaksudkan di sini adalah dampak negatif pandemi di bidang sosial budaya. Tidak dimungkiri bahwa ada efek gegar budaya di masyarakat selama pandemi berlangsung sejak Maret lalu. Masyarakat menjadi berjarak satu sama lain, padahal budaya masyarakat Indonesia sangatlah guyub dan komunal. Kebijakan penjarakkan sosial, suka tidak suka, mengakibatkan masyarakat menjadi berjarak satu sama lain, bahkan dengan keluarga sendiri. Protokol kesehatan yang diberlakukan di segala lini misalnya, berdampak pada hilangnya kewajiban dan ikatan batin-emosional keluarga untuk pastikan-tak-ambil-kebijakan-psbb, pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. “Pemerintah Cairkan Rp. 304,6 Triliun Untuk Penanganan Covid-19”, diakses di pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. mengurus jenazah sanak keluarganya yang wafat karena Covid-19. Tak heran, kasus-kasus seperti pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 marak terjadi seperti halnya yang terjadi di Makassar dan singkat, berbagai kebijakan penanganan pandemi yang dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah, termasuk di Pemkot Surakarta, belum sepenuhnya dan terfokus menyentuh pada aspek sosial dan budaya. Kebijakan penanganan masih terpusat pada dua lokus besar, yakni ekonomi dan kesehatan. Wajar saja jika gegar budaya menjadi sebuah keniscayaan di masyarakat. Pada tahap lebih lanjut, gegar budaya yang mulai menggerogoti masyarakat ini, apabila tidak ditangani melalui sebuah kebijakan khusus, maka dapat menimbulkan dampak negatif terhadap persatuan dan kesatuan. Mereka yang dirinya atau keluarganya terpapar Covid-19, menjadi distrust kepada aparat pemerintah, bahkan pemerintah sendiri karena merasa dijauhkan dari keluarganya. Mereka yang terpapar menjadi tidak jujur dan menyembunyikan penyakitnya hanya karena harus mengalami isolasi yang menjauhkan mereka dari keluarga. Sebagai akibatnya, lonjakan penderita Covid-19 menjadi meningkat. Kebijakan penanganan pandemi di bidang sosial budaya untuk memitigasi dan menangani gegar budaya adalah sebuah keharusan untuk dilakukan. Pembahasan Gegar budaya merupakan sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Oberg untuk mendeskripsikan respons yang “Gegar Budaya Karena Pandemi”, diakses di pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. 3 mendalam dan negatif dari perasaan depresi, frustrasi, dan disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru. Istilah ini merujuk pada sikap yang menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus melakukan apa dan bagaimana mengerjakan sesuatu dalam lingkungan yang baru. Orang yang mengalami gegar budaya juga tidak mengetahui mana ukuran yang sesuai dan tidak sesuai dari tindakan yang dilakukan. Ward 2001 mendefinisikan gegar budaya sebagai suatu proses aktif dalam menghadapi perubahan saat seseorang berada pada lingkungan yang baru, yang tidak familiar sama sekali. Edward Hall 2011 mendefinisikan gegar budaya sebagai gangguan ketika segala hal yang biasa dihadapi ketika di tempat asal menjadi berbeda dengan segala hal yang dihadapi di tempat atau lingkungan yang baru. Lebih lanjut, Furnham dan Bochner 1970 menyatakan bahwa gegar budaya adalah sebuah kondisi yang mana seseorang tidak mengenal kebiasaan-kebiasaan sosial dari budaya baru, atau jika ia mengenalnya, maka ia tidak mampu menunjukkan perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan di lingkungan baru gegar budaya yang terjadi di masyarakat Indonesia di masa pandemi bukan dikarenakan masyarakat berada pada suatu lokus atau lingkungan sosial yang baru. Akan tetapi, gegar budaya yang terjadi lebih dikarenakan masyarakat belum sepenuhnya terbiasa untuk menerapkan kebiasaan-kebiasaan baru yang harus dijalankan di masa pandemi, seperti halnya pemberlakukan protokol kesehatan di “Definisi Culture Shock”, diakses di pada 3 Oktober 2020, pukul WIB. segala lini kehidupan masyarakat. Masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan kecil dan pedesaan, yang masih memegang teguh nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat, seperti halnya masyarakat di wilayah Surakarta, adalah masyarakat yang sangat guyub dan memegang teguh prinsip komunalisme. Artinya, apapun permasalahan di masyarakat, baik yang sifatnya permasalahan bersama maupun permasalahan pribadi anggota masyarakat yang menuntut uluran tangan bersama, akan diselesaikan secara bersama-sama juga dengan mekanisme yang guyub dan penuh musyawarah mufakat. Secara filosofis, masyarakat Indonesia benar-benar mempraktikkan budaya gotong royong, holopis kuntul baris. Praktik keguyuban dan komunalisme, sebagai contoh, dapat dilihat pada laku hidup masyarakat Surakarta sehari-hari. Sejak kecil, anak-anak diajarkan untuk patuh dan hormat kepada orang tua. Mereka dididik tidak hanya untuk menghargai orang tua dan orang yang lebih tua toto kromo, tapi juga bagaimana berbakti dan bersikap baik pada orang tua dan orang yang lebih tua. Begitu halnya kaum perempuan. Dari sisi agama maupun budaya, mereka diajarkan untuk berbakti kepada suami sebagai pendamping hidup dan kepala keluarga. Namun demikian, pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia sejak Maret lalu, membawa perubahan sosial yang mendasar di masyarakat. Pemberlakukan protokol kesehatan, khususnya penjarakkan sosial dan mekanisme interaksi dengan mereka yang terpapar Covid-19, membuat masyarakat gamang dan kehilangan arah dalam bersikap. Lebih-lebih ketika orang tua, suami, atau keluarga lainnya yang terpapar Covid-19. Anak-anak tidak bisa mengurus orang tuanya yang terpapar penyakit. Istri 4 tidak bisa mengurus dan berbakti kepada suaminya yang terbaring di rumah sakit karena pandemi. Hal ini berlanjut ketika orang tua dan suami tersebut dinyakatakan wafat. Mereka jadi tidak bisa mengurus dan mengantarkan orang yang mereka kasihi hingga ke liang lahat. Selain perasaan kehilangan yang mendalam, mereka juga dibekap oleh perasaan bersalah. Situasi dan kondisi sedemikian menjadi pemicu mengapa aksi-aksi pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti yang pernah terjadi di Makassar dan Surabaya. Situasi ini juga terjadi di Surakarta meskipun tidak sampai pada level seekstrem itu. Di masyarakat Surakarta, seperti jamaknya masyarakat di daerah lain, terjadi keengganan masyarakat untuk melaporkan anggota keluarga yang terpapar Covid-19 kepada petugas. Jangankan melapor, sebagain besar masyarakat merasa enggan untuk melakukan tes cepat masal dan tes usap. Mereka khawatir apabila terbukti reaktif atau positif, akan terjadi pengucilan sosial dari masyarakat sekitar. Mereka khawatir, apabila melapor, maka mereka harus memenuhi prosedur isolasi atau karantina yang menjauhkan mereka satu sama lain dengan keluarga. Kondisi ini menimbulkan antipati masyarakat terhadap aparat pemerintah yang diberikan tugas dan tanggung jawab untuk melakukan deteksi dini penyebaran Covid-19, seperti polisi, dokter, dan perawat. Yang lebih berbahaya, terjadi rasa saling curiga di antara masyarakat sendiri. Sebagai akibatnya, penyebaran Covid-19 menjadi sulit ditekan karena ada permasalahan sosial budaya di masyarakat yang tidak tersentuh kebijakan. Tidak tersentuhnya “ruang kosong” bernama aspek sosial budaya ini oleh pemerintah, apabila tidak disikapi secara bijak, maka akan menimbulkan permasalahan yang jauh lebih pelik, yakni goyahnya persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi nilai dan esensi penting Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup bangsa Indonesia. Mengapa bisa dikatakan sedemikian? Pertama, rasa saling curiga di antara sesama masyarakat akan berdampak pada pecahnya kohesi sosial masyarakat. Perebutan paksa jenazah Covid-19 antara petugas medis dan keluarga pasien menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Profesi dokter dan perawat menjadi profesi yang dimusuhi oleh keluarga pasien Covid-19. Kedua, keengganan masyarakat untuk mengikuti tes cepat masal dan tes usap berdampak pada tidak terpetakannya penyebaran pandemi secara akurat. Lebih lanjut, hal ini berakibat pada bertambahnya angka kasus positif di tiap daerah, tidak terkecuali di wilayah Surakarta. Hal ini menimbulkan ketegangan antara satuan khusus yang ditunjuk oleh pemerintah pusat Satgas Covid-19 misalnya dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah kerap menjadi kambing hitam karena dianggap tidak mampu menekan laju angka penyebaran Covid-19. Hal ini sangatlah buruk bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Di era pandemi ini, persatuan dan kesatuan seyogianya dijadikan sebagai fondasi dan modal dasar untuk berjuang dan bergerak bersama agar terbebas dari wabah pandemi. Butuh sinergi antara pemerintah dan Yuliarto, Achmad, dkk. 2020. Bahan Ajar Bidang Studi Empat Konsensus Dasar Bangsa Sub Bidang Studi Pancasila Tahun 2020. Jakarta Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. Halaman. 34. 5 masyarakat. Butuh kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah harus mampu menyusun strategi dan kebijakan yang pas untuk menahan laju penyebaran pandemi. Masyarakat juga dituntut untuk mematuhi dan menjalankan kebijakan yang ditetapkan. Persoalan merajut persatuan dan kesatuan menjadi bertambah pelik tatkala ada kelompok-kelompok yang kerap melontarkan kritik yang menggerus kredibilitas pemerintah, tapi nir-solusi. Gegar budaya di masyarakat yang menjadi persoalan yang harus ditangani, turut dikomodifikasi sebagai bentuk ketidakcermatan dan lemahnya respons pemerintah dalam menyikapi situasi yang ada. Celakanya, masyarakat sendiri tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam melihat dan bersikap atas kendala yang mereka hadapi. Mereka kehilangan arah dan gamang sehingga melakukan tindakan yang cenderung keliru seperti tetap mudik ketika pemerintah melarang untuk mudik, tetap menggelar pengajian rutin ketika ada larangan berkumpul, bahkan merebut jenazah keluarga yang terinfeksi Covid-19 padahal ada protokol kesehatan yang harus dipatuhi. PENUTUP Kesimpulan Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal Maret lalu, telah membawa dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali aspek sosial budaya. Dampak terhadap aspek sosial budaya, salah satunya adalah gegar budaya yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan kecil dan pedesaan. Masyarakat Indonesia yang terbiasa hidup komunal dan guyub dengan mengedepankan prinsip gotong royong dalam menyelesaikan segala permasalahan, mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada seperti mematuhi kebijakan penjarakkan sosial demi memitigasi dampak pandemi. Kelambanan dan ketidaksiapan dalam melakukan adaptasi terhadap kebiasaan baru tersebut, berdampak pada terjadinya gegar budaya di masyarakat. Gegar budaya sendiri mengakibatkan munculnya ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa. Muncul rasa saling tidak percaya antarmasyarakat karena masih adanya sekelompok masyarakat yang tidak peduli pada protokol kesehatan dan kebijakan pemerintah yang ditetapkan dalam penanganan pandemi lainnya. Muncul antipati masyarakat terhadap aparat pemerintah yng ditunjuk untuk melakukan langkah mitigasi penyebaran Covid-19 seperti kepolisian dan tenaga medis. Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan. Situasi pandemi yang notabene membutuhkan kerja sama yang solid dan rasa senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa justru terancam perpecahan. Belum lagi apabila mempertimbangkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan AGHT lainnya terhadap persatuan dan kesatuan. Saran Kebijakan mitigasi dan kurasi Covid-19 yang ditempuh oleh pemerintah masih bertumpu pada dua simpul besar, yakni kesehatan dan ekonomi. Aparatus negara yang ditunjuk dalam satuan penanganan juga masih didominasi oleh para pakar di bidang kesehatan dan ekonomi, bahkan militer yang notabene kurang 6 memiliki keahlian, dilibatkan hanya sekedar untuk mengamplifikasi suasana kedaruratan akibat pandemi. Dengan fakta sedemikian, wajar saja apabila aspek sosial budaya tidak tersentuh, malah berujung pada terciptanya gegar budaya yang kronis di masyarakat. Oleh sebab itu, pemerintah disarankan untuk menyusun kebijakan mitigasi dan penanganan pandemi di bidang sosial budaya dengan memasukkan nilai-nilai Pancasila di dalamnya, khususnya nilai-nilai persatuan dan kesatuan. Secara teknis, kebijakan ini dapat ditumpukan kepada pemerintah daerah dengan melibatkan para tokoh masyarakat, seperti tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh pemuda dalam sosialisasi dan monitoring protokol kesehatan. Penggunaan simpul-simpul penting dalam masyarakat ini diharapkan dapat saling mendukung dan menguatkan dengan kebijakan yang sudah ditempuh sebelumnya. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya berkontribusi dalam menangani pandemi, tapi juga dapat memperkokoh nilai-nilai persatuan dan kesatuan berdasarkan Pancasila. Referensi “Data Covid-19 di Indonesia 3 Oktober 2020”, diakses di “Awas! Ini Risikonya Setelah Ekonomi Masuk Jurang Resesi”, diakses di “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 Revisi ke-5”, diakses di ”Kasus Covid-19 Terus Naik, Pemkot Solo Pastikan Tak Ambil Kebijakan PSBB”, diakses di “Pemerintah Cairkan Rp. 304,6 Triliun Untuk Penanganan Covid-19”, diakses di “Gegar Budaya Karena Pandemi”, diakses di Yuliarto, Achmad, dkk. 2020. Bahan Ajar Bidang Studi Empat Konsensus Dasar Bangsa Sub Bidang Studi Pancasila Tahun 2020. Jakarta Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Persatuan dan kerukunan sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, sebab terciptanya persatuan dan kerukunan dalam suatu negara akan menjadikan rakyat nyaman dan tenteram dalam bekerja, menuntut ilmu, melaksanakan ajaran agama, melaksanakan pembangunan dan lain sebagaianya. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akan tetap kokoh apabila semua bangsa Indonesia dapat menjaga dan membina kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kerukunan hidup harus diwujudkan di dalam semua kehidupan, baik dalam kehidupan agama, sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun pertahanan keamanan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam kehidupannya, dan manusia dalam kehidupannya mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap Tuhan, terhadap sesama manusia, terhadap lingkungan hidup, ataupun terhadap bangsa dan negaranya. Sikap dan perilaku egois, menang sendiri, atau merasa diri paling hebat dan paling benar merupakan sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Apalagi melakukan tindakan ekstrem, melakukan kekerasan, main hakim sendiri. Sikap tersebut bertentangan dengan agama. Perilaku egois dan ekstrem harus ,segera ditanggulangi karena akan dapat menimbulkan perpecahan di antara masyarakat serta kesalahpahaman yang pada akhirnya akan menggoyahkan semua kerukunan dan persatuan. Dengan demikian kita harus bisa menjaga kemanan dan kenyamanan di daerah kita. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Perhatikan anak-anak kita, jangan sampai salah bergaul. Perilaku anak kita sedikit banyaknya dipengaruhi oleh lingkungan dan teman bergaul. Implementasi Indonesia yang aman dan damai diwujudkan dalam persatuan, kesatuan dan kerukunan melalui kerja keras semua pihak, baik pihak TNI/Polri, pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat. Mari bersama-sama kita jaga kerukunan dan persatuan agar kita semua dapat menjaga kerukunan nasional yang berbasis pada kerukunan antar suku, ras maupun agama dengan ikut serta menjaga ketertiban dan ketentraman yang telah terjalin baik selama ini. Lihat Sosbud Selengkapnya
persatuan dan kesatuan akan kokoh apabila